SUMBER HUKUM DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)
Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa ekonomi syari‟ah adalah Hukum Acara yang berlaku dan dipergunakan pada lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Sementara ini Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura, Rechtreglement Voor De Buittengewesten (R.Bg) untuk luar Jawa Madura. Kedua aturan Hukum Acara ini diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006. Tentang Peradilan Agama.
Di samping dua peraturan sebagaimana tersebut di atas, diberlakukan juga Bugerlijke Wetbook Voor Indonesia (BW) atau yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya buku ke IV tentang Pembuktian yang termuat dalam Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993.
Juga diberlakukan Wetbook Van Koophandel (Wv.K) yang diberlakukan berdasarkan Stb 1847 Nomor 23, khususnya dalam pasal
7, 8, 9, 22, 23, 32, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275. Dalam kaitan dengan peraturan ini terdapat juga Hukum Acara yang diatur dalam Failissements Verordering (Aturan Kepailitan) sebagaimana yang diatur dalam Stb 1906 Nomor 348, dan juga terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan dijadikan pedoman dalam praktek Peradilan Indonesia.
2. Sumber Hukum Materil a. Nash al Qur‟an
Dalam al Qur‟an terdapat berbagai ayat yang membahas tentang ekonomi berdasarkan prinsip syariah yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan berbagai masalah ekonomi dan keuangan. Syauqi al Fanjani12 menyebutkan secara eksplisit ada 21 ayat yaitu Al Baqarah ayat 188, 275 dan 279, An Nisa‟ ayat 5 dan
32, Hud ayat 61 dan 116, al Isra‟ ayat 27, An Nur ayat 33, al Jatsiah ayat 13, Ad Dzariyah ayat 19, An Najm ayat 31, al Hadid ayat 7, al Hasyr ayat 7, Al Jumu‟ah ayat 10, Al Ma‟arif ayat 24 dan 25, al Ma‟un ayat 1, 2 dan 3.
Di samping ayat-ayat tersebut di atas, sebenarnya masih banyak lagi ayat-ayat al Qur‟an yang membahas tentang masalah ekonomi dan keuangan baik secara mikro maupun makro, terutama tentang prinsip-prinsip dasar keadilan dan pemerataan, serta berupaya selalu siap untuk memenuhi transaksi ekonomi yang dilakukannya selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari‟ah.
b. Nash al Hadits
Melihat kepada kitab-kitab Hadits yang disusun oleh para ulama ahli hadits dapat diketahui bahwa banyak sekali hadits Rasulullah SAW yang berkaitan langsung dengan kegiatan ekonomi dan keuangan Islam. Oleh karena itu mempergunakan al Hadits sebagai sumber hukum dalam penyelesaian sengketa ekonomi Syari‟ah sangat dianjurkan kepada pihak-pihak yang berwenang.
Hadits Rasulullah SAW yang dapat dijadikan rujukan dapat
diambil dalam beberapa kitab Hadits sebagai berikut :
12 Mahmud Syauqi al Fanjani, Al Wajiz fi al Iqtishad al Islami, terjemahan Mudzakkir AS
dengan judul Ekonomi Islam Masa Kini,1989, Husaini, Bandung.
a. Sahih Buchari, Al Buyu‟ ada 82 Hadits, Ijarah ada 24 Hadits, As
Salam ada 10 Hadits, Al Hawalah ada 9 Hadits, Al Wakalah 17
Hadits, Al Muzara‟ah 28 Hadits dan Al Musaqat 29 Hadits.
b. Sahih Muslim ada 115 Hadits dalam al Buyu‟.
c. Sahih Ibn Hiban, tentang al Buyu‟ ada 141 Al Hadits, tentang al
Ijarah ada 38 al Hadits.
d. Sahih Ibn Khuzaimah ada 300 al Hadits tentang berbagai hal yang menyangkut ekonomi dan transaksi keuangan.
e. Sunan Abu Daud ada 290 al Hadits dalam kitab al Buyu‟.
f. Sunan Al Tarmizi ada 117 al Hadits di dalam kitab al Buyu‟.
g. Sunan al Nasa‟i ada 254 al Hadits di dalam kitab al Buyu‟.
h. Sunan Ibn Majah ada 170 al Hadits di dalam kitab al Tijarah. i. Sunan al Darimi terdapat 94 al Hadits dalam al Buyu‟.
j. Sunan al Kubra li al Baihaqi terdapat 1085 al Hadits tentang al
Buyu‟ dan 60 al Hadits tentang al Ijarah.
k. Musannaf Ibn Abi Syaibah terdapat 1000 al Hadits.
l. Musanaf Abdul al Razzaq terdapat 13054 al Hadits tentang al
Buyu‟
m. Mustadrah al Hakim terdapat 245 al Hadits tentang al Buyu‟.
Angka-angka yang tersebut dalam kitab-kitab tersebut bukanlah hal yang berdiri sendiri, sebab banyak sekali nash al Hadits yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut bunyi dan sanadnya sama. Hal ini akan sangat membantu dalam menjadikan al Hadits sebagai sumber hukum ekonoi syari‟ah.
Di samping sumber hukum ekonomi syari‟ah yang terdapat di dalam kitab-kitab al Hadits di atas, masih banyak lagi al Hadits yang terdapat dalam kitab-kitab lain seperti Sunan al Daruquthni, Sahih Ibnu Khuzaimah, Musnad Ahmad, Musnad Abu Ya‟la al Musili, Musnad Abu „Awanah, Musnad Abu Daud al Tayalisi, Musnad al Bazzar, dan masih banyak yang lain yang semuanya merupakan
sumber hukum ekonomi syari‟ah yang dapat dijadikan pedoman
dalam menyelesaikan perkara di Peradilan Agama.
3. Peraturan Perundang-Undangan
Banyak sekali aturan hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mempunyai titik singgung dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini. Oleh karena itu Hakim Peradilan Agama harus mempelajari dan memahaminya untuk dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara ekonomi syari‟ah.
Di antara peraturan perundang-undangan yang harus dipahami oleh Hakim Peradilan Agama yang berhubungan dengan Bank Indonesia antara lain :
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/Kep/Dir
tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari‟ah.
d. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/36/Kep/Dir
tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syari‟ah.
e. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 21/53/Kep/Dir./1988 tanggal 27 Oktober 1988 tentang Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).
f. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 21/48/Kep/Dir./1988 dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 21/27/UPG tanggal 27
Oktober 1988 tentang Sertifkat Deposito.
g. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 28/32/UPG tanggal 4 Juli 1995
Jo. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/32/Kep/Dir. tertanggal 4 Juli 1995 tentang Bilyet Giro.
h. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/67/Kep/Dir. tertanggal 23 Juli 1998 tentang sertifikat Bank Indonesia.
i. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 28/49/UPG tertanggal 11
Agustus 1995 tentang Persyaratan Penerbitan dan Perdagangan
Surat Berharga Komersial (Commercial Paper).
j. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 23/5/UKU tanggal 28 Februari
1991 tentang Pemberian Garansi Bank.
Sedangkan peraturan perundang-undangan yang lain yang mempunyai persentuhan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Peradilan Agama, antara lain :
(1). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria. (2). Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 Tentang BUMN.
(3). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982, tentang Wajib Daftar
Perusahaan.
(4). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992, tentang Usaha
Perasuransian.
(5). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992, tentang Perkoperasian. (6). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1987, tentang Dokumen
Perusahaan.
(7). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, tentang Perusahaan
Terbatas.
(8). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998, tentang Kepailitan.
(9). Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
(10). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995, tentang Pasar Modal.
(11). Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah. (12). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, tentang Antimonopoli dan
Persaingan Tidak Sehat.
(13). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, tentang Perlindungan
Konsumen.
(14). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
(15). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, tentang Wakaf. (16). Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999, tentang Zakat. (17). Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, tentang Fidusia.
(18). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000, tentang Desain Industri. (19). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, tentang Paten.
(20). Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, tentang Merek. (21). Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, tentang Yayasan. (22). Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, tentang Hak Cipta.
(23). Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, tentang Wakaf
Tanah Milik.
(24). Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran
Tanah.
(25). Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998, tentang Perusahaan
Terbatas (Perseroan).
(26). Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998, tentang Perusahaan
Umum (Perum).
(27). Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995, tentang
Penyelenggaraan Kegiatan dibidang Pasar Modal.
(28). Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, tentang Hak Guna
Usaha. Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
(29). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005, tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan.
(30). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005, tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
(31). Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1999 tentang Badan
Koordinasi Penanaman Modal.
(32). Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan
Nasional di Bidang Pertanahan.
(33). Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal Nomor 38/SK/1999 tentang Pedoman dan Tata
Cara Permohonan Penanaman Modal Dalam Negeri dan
Penanaman Modal Asing.
(34). Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 515/Kpts/HK.060/9/2004 Nomor
2/SKB/BPN/2004.
(35). Keputusan Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 422 Tahun 2004, Nomor
3/SKB/BPN/2004 tentang Sertifikasi Tanah Wakap.
4. Fatwa-fatwa Dewan Syari‟ah Nasional (DSN)
Dewan syari‟ah Nasional (DSN) berada dibawah MUI, dibentuk pada tahun 1999. Lembaga ini mempunyai kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari‟ah. Sampai saat telah mengeluarkan 53 fatwa tentang kegiatan ekonomi syari‟ah. Sebagai berikut :
(1). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 01/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Giro.
(2). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 02/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Tabungan.
(3). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 03/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Deposito.
(4). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 04/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Murabahah.
(5). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 05/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Jual Beli Saham.
(6). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 06/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Jual Beli Istishna‟ .
(7). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh).
(8). | Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Tentang Pembiayaan Musyarakah. | No. | 08/DSN-MUI/IV/2006 | |
(9). | Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Tentang Pembiayaan Ijarah. | No. | 09/DSN-MUI/IV/2006 | |
(10). | Fatwa Dewan Syari‟ah Tentang Wakalah. | Nasional | No. | 10/DSN-MUI/IV/2006 |
(11). | Fatwa Dewan Syari‟ah Tentang Kafalah. | Nasional | No. | 11/DSN-MUI/IV/2006 |
(12). | Fatwa Dewan Syari‟ah Tentang Hawalah. | Nasional | No. | 12/DSN-MUI/IV/2006 |
(13). | Fatwa Dewan Syari‟ah | Nasional | No. | 13/DSN-MUI/IV/2006 |
Tentang Uang Muka dalam Murabahah.
(14). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 14/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga
Keuangan Syari‟ah.
(15). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 15/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga
Keuangan Syari‟ah.
(16). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 16/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Diskon dalam Murabahah.
(17). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 17/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda
Pembayaran.
(18). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 18/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Pencadangan Pengahapusan Aktiva Produktif dalam
Lembaga Keuangan Syari‟ah.
(19). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 19/DSN-MUI/IV/2006
Tentang al Qardh.
(20). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 20/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana
Syari‟ah.
(21). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 21/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Pedoman Umum Asuransi Syari‟ah.
(22). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 22/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Jual Beli Istishna‟ Pararel.
(23). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 23/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Potongan Pelunasan dalam Murabahah.
(24). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 24/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Safe Defosit Box.
(25). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 25/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Rahn.
(26). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 26/DSN-MUI/IV/2006
Tentang RAHN Emas.
(27). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 27/DSN-MUI/IV/2006
Tentang al Ijarah al Muntahiyah Bi al Tamlik.
(28). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 28/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Jual Beli Mata Uang (al Sharf).
(29). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 29/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan
Syari‟ah.
(30). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 30/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Pembiayaan Rekening Koran Syari‟ah.
(31). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 31/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Pengalihan Hutang.
(32). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 32/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Obligasi Syari‟ah.
(33). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 33/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Obiligasi Syari‟ah Mudharabah.
(34). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 34/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syari‟ah.
(35). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 35/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Letter of Credit (L/C) Ekspor Syari‟ah.
(36). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 36/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Sertifikat Wadi‟ah Bank Indonesia (SWBI).
(37). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 37/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syari‟ah.
(38). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 38/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (Sertifkat
IMA).
(39). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 39/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Asuransi Haji.
(40). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 40/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip
Syari‟ah di Bidang Pasar Modal.
(41). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 41/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Obligasi Syari‟ah Ijarah.
(42). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 42/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Syari‟ah Charge Card.
(43). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 43/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Ganti Rugi (Ta‟widh).
(44). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 44/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Pembiayaan Multijasa.
(45). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 45/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Line Facility (at-Tashilat).
(46). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 46/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Potongan Tagihan Murabahah (al Khas, Fi al
Murabahah).
(47). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 47/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak
Mampu Membayar.
(48). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 48/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah.
(49). Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 49/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Konversi Akad Murabahah.
(50) Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 50/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Akad Mudharabah Musytarakah.
(51) Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 51/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Akad Mudharabah Musytarakah Pada Asuransi Syari‟ah.
(52) Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 52/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi dan Reasuransi
Syari‟ah.
(53) Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 53/DSN-MUI/IV/2006
Tentang Adab Tabarru‟ Pada Asuransi dan Reasuransi Syari‟ah.
5. Aqad Perjanjian (Kontrak)
Mayoritas Ulama berpendapat bahwa asal dari semua transaksi adalah halal. Namun asal dari persyaratan memang masih diperselisihkan. Mayoritas Ulama berpendapat bahwa persyaratan itu harus diikat dengan nash-nash atau kesimpulan-kesimpulan dari nash berdasarkan ijtihad. Kalangan Hambaliyah dan Ibnu Syurmah serta sebagian para pakar hukum Islam dikalangan Malikiyyah berpendapat
lain. Mereka menyatakan bahwa transaksi dan persyaratan itu bebas13.
Namun demikian telah disepakati bahwa asal dari perjanjian itu adalah keridhaan kedua belah piahk, konsekwensinya apa yang telah disepakati bersama harus dilaksanakan.
Menurut Taufiq14 dalam mengadili perkara sengketa Ekonomi
Syari‟ah, sumber hukum utama adalah perjanjian, sedangkan yang lain merupakan pelengkap saja. Oleh karena itu, hakim harus memahami apakah suatu aqad perjanjian itu sudah memenuhi syarat dan rukun
sahnya suatu perjanjian. Apakah suatu aqad perjanjian itu sudah
13 Abdullah al Mushlih dan Shalah Ash Shawi, Ma La Yasa’ut Tajiru Jahluhu, terjemahan Abu
Umar Basyir, Fiqih Ekonomi Keuangan Islam Darul Haq, Jakarta, 2004,hal.58
14 Taufiq, Sumber Hukum Ekonomi Syari’ah, Makalah yang disampaikan pada acara Semiloka
Syari’ah, Hotel Gren Alia Jakarta, tanggal 20 November 2006,hal 6-7.
memenuhi azas kebebasan berkontrak, azas persamaan dan kesetaraan, azas keadilan, azas kejujuran dan kebenaran serta azas tertulis. Hakim juga harus meneliti apakah aqad perjanjian itu mengandung hal-hal yang dilarang oleh Syari‟at Islam, seperti mengandung unsur riba dengan segala bentuknya, ada unsur gharar atau tipu daya, unsur maisir atau spekulatif dan unsur dhulm atau ketidak adilan. Jika unsur-unsur ini terdapat dalam aqad perjanjian itu maka hakim dapat menyimpang dari isi aqad perjanjian itu.
Berdasarkan pasal 1244, 1245 dan 1246 KUH Perdata, apabila salah satu pihak melakukan ingkar janji (wanprestasi) atau perbuatan melawan hukum, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi yang berupa pemulihan prestasi, ganti rugi, biaya dan bunga. Apakah ketentuan ini dapat dilaksanakan dalam konsep perjanjian dalam syari‟at Islam ? Ketentuan ini tentu saja tidak bisa diterapkan seluruhnya dalam hukum keperdataan Islam, karena dalam aqad perjanjian Islam tidak dikenal adanya bunga yang menjadi bagian dari tuntutan ganti rugi. Oleh karena itu, ketentuan ganti rugi harus sesuai dengan prinsip Syari‟at Islam. Jika salah satu pihak tidak melakukan prestasi, dan itu dilakukan bukan karena terpaksa (overmach), maka ia dipandang ingkar janji (wanprestasi) yang dapat merugikan pihak lain. Penetapan wanprestasi ini bisa berbentuk putusan hakim atau atas dasar kesepakatan bersama atau berdasarkan ketentuan aturan hukum Islam yang berlaku.
Sehubungan dengan hal di atas, bagi pihak yang wanprestasi dapat dikenakan ganti rugi atau denda dalam ukuran yang wajar dan seimbang dengan kerugian yang ditimbulkannya serta tidak mengandung unsur ribawi. Jika debitur yang wanprestasi karena pertama : ketidakmampuan yang bersifat relatif, maka kreditur harus memberikan alternatif berupa perpanjangan waktu pembayaran (rescheduling), memberi pengurangan (discaunt) keuntungan, diberikan kemudahan berupa secondinitioning kontrak atau dilakukan likuidasi
(penjualan barang-barang jaminan). Jika debitur masih juga tidak mampu membayar prestasinya, maka kreditur (Bank) dapat memberikan kebijakan hapus buku (write of). Kedua : karena ketidakmampuannya yang bersifat mutlak, kreditur (Bank) harus membebaskan debitur dari kewajiban membayar prestasi atau memberikan kebijakan hapus tagih (hair cut). Ketiga : jika debitur wanprestasinya karena itikad tidak baik, maka dapat diumumkan kepada masyarakat luas sebagai debitur nakal dan dikenakan sangsi paksa badan atau hukuman lainnya.
Perbuatan melawan hukum oleh CST Kansil15 diartikan bahwa
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain, atau berlawanan dengan kewajiban hak orang yang berbuat atau tidak berbuat itu sendiri atau bertentangan dengan tata susila, maupun berlawanan dengan sikap hati-hati sebagaimana patutnya dalam pergaulan masyarakat, terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain. Sangsi untuk perbuatan melawan hukum diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata yang menetapkan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian pada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
Dalam hukum Islam, perbuatan melawan hukum dikenal dengan istilah “PERBUATAN YANG MEMBAHAYAKAN” atau “AL FI‟IL AL DHARR”. Dalam kaitan ini Musthafa Ahmad al Zarqa16 menjelaskan bahwa ada 9 ayat al Qur‟an, 31 Hadits Rasulullah SAW dan 23 pendapat sahabat yang menjelaskan perbuatan yang membayakan itu. Ayat-ayat Al Qur‟an yang dimaksud adalah Al Nisa ayat 30, Al Baqarah
ayat 188, Al „Araf ayat 56, Al Baqarah ayat 205, Yusuf ayat 73, Al Nur
ayat 4 & 23 dan surat Al Anbiya ayat 78-79.
15 CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Idonesia, (Jakarta, Balai Pustaka,
1986), hal.254.
16 Musthafa Ahmad al Zarqa, Al Fi’il al Dharr al Dhaman fih, (Damaskus; Dar’al Qalam,
1988),hal.208.
Melihat kepada ayat-ayat di atas, maka bagi seorang yang melakukan perbuatan melawan Hukum diminta untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Hanya saja bentuk tanggung-jawabnya berbeda-beda, ada yang bersifat moral (saksi ukhrawi) ada pula yang bersifat sanksi duniawi, yakni berbentuk keharusan memberi ganti rugi yang seimbang dan adil dengan kerugian yang diderita, ada juga yang berbentuk tanggung jawab dengan menghilangkan dharar (bahaya dan kerugian) dengan cara yang makruf atau bentuk lain yang dibenarkan oleh Syari‟at Islam. Namun ganti rugi disini tidak boleh mengandung unsur-unsur ribawi sebagaimana konsep ganti rugi yang diatur dalam KUHPerdata. Jadi, dalam hukum Islam bagi pihak debitur/kreditur yang melakukan perbuatan melawan hukum dapat dikenakan ganti rugi dan atau denda dalam ukuran yang wajar dan seimbang dengan kerugian yang ditimbulkan dan tidak mengandung unsur ribawi.
6. Fiqih dan Ushul Fiqih
Fiqih merupakan sumber hukum yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari‟ah. Sebagian besar kitab-kitab fiqih yang muktabar berisi berbagai masalah muamalah yang dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah ekonomi syari‟ah. Di samping kitab-kitab fiqih yang dianjurkan oleh Menteri Agama RI melalui Biro Peradilan Agama berdasarkan Surat Edaran Nomor B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 agar mempedomani 13 kitab fiqh dalam memutus perkara di lingkungan Peradilan Agama, perlu juga dipelajari berbagai kitab fiqih lain sebagai bahan perbandingan dan pedoman seperti Bidayatul Mujtahid yang ditulis oleh Ibn Rusy, Al Mulakhkhash Al Fiqhi yang ditulis oleh Syaikh DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu yang ditulis oleh DR. Wahbah al Zuhaili, Fiqhus Sunnah yang ditulis oleh Sayyid Sabiq dan sebagainya.
Selain dari itu perlu juga dipahami berbagai qaidah fiqih, sebab qaidah-qaidah ini sangat berguna dalam menyelesaikan perkara.
Kaedah fiqh terkandung prinsip-prinsip fiqh yang bersifat umum dalam bentuk teks pendek yang mengandung hukum umum yang sesuai dengan kebahagian-kebahagiannya. Kaedah Fiqh ini berisi kaedah- kaedah hukum yang bersifat kulliyah yang diambil daripada dalil-dalil kulli, yaitu dari dalil-dalil Al Qur‟an dan al Sunnah, seperti al Dararu Yuzalu (Hal-hal yang dharurat nusti harus dihapuskan).
Dengan hal tersebut di atas dapat diketahui bahwa qawaid fiqiyah adalah qaidah atau dasar fiqh yang bersifat umum yang mencakup hukum-hukum syara‟ menyeluruh dari berbagai bab dalam masalah- masalah yang masuk dibawah cakupannya. Dewan Syari‟ah Nasional MUI dalam menetapkan berbagai fatwa tentang ekonomi syari‟ah sebagaimana yang terdapat dalam buku Himpunan Fatwa DSN, hampir semua fatwanya selain berhujjah pada al Qur‟an dan al Sunnah serta aqwal ulama adalah berhujjah kepada aqidah fiqhiyyah.
7. Adab Kebiasaan
Islam sengaja tidak menjelaskan semua persoalan hukum, terutama dalam bidang muamalah didalam al Qur‟an dan al Sunnah. Islam meletakkan prinsip-prinsip umum yang dapat dijadikan pedoman oleh para Mujtahid untuk berijtihad menentukan hukum terhadap masalah-masalah baru yang sesuai dengan tuntutan zaman. Inilah diantaranya yang mejamin eksistensi dan fleksibelitas hukum Islam, sehingga hukum Islam akan tetap shalihun likulli zaman wal Makan.
Jika masalah-masalah baru yang timbul saat ini tidak ada dalilnya dalam al Qur‟an dan al Sunnah, serta tidak ada prinsip-prinsip umum yang dapat disimpulkan dari peristiwa itu, maka dibenarkan untuk mengambil dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sepanjang nilai-nilai itu tidak bertentangan dengan syari‟at Islam.
Hal-hal yang baik menjadi kebiasaan, berlaku dan diterima secara umum serta tidak berlawanan dengan prinsip-prinsip syari‟ah itulah Urf. Para ahli Hukum Islam sepakat bahwa urf semacam ini dapat
dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum. Disinilah muncul kaedah “Al „Adah Muhakkamah”. Berdasarkan uruf, para ahli hukum Islam menyatakan sahnya bai‟ salam, bai‟ istishna‟, bai‟ mu‟athah, ijarah dan sebagainya.
Dalam literatur yang membahas tentang kehujjahan urf sebagai sumber hukum, dapat diketahui bahwa urf itu telah diamalkan oleh semua para ahli hukum Islam, terutama dikalangan mazhab Hanafiah dan Malikiyyah. Ahli hukum dikalangan Hanafiah menggunakan Istihsan dalam menetapkan hukum dan salah bentuk istihsan ini adalah istihsan al urf. Para ahli hukum dikalangan mazhab Malikiyyah juga mempergunakan urf sebagai sumber hukum terutama urf yang hidup dikalangan ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum. Para ahli hukum dikalangan Syafiiyyah banyak mempergunakan urf dalam hal yang tidak ditemukan hukumnya dalam hukum syara‟. Mereka mempergunakan kaedah “setiap yang datangnya dengan syara‟, secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam syara‟ maupun dalam bahasa, maka hal tersebut dikembalikan kepada urf”. Imam Syafi‟i mempergunakan urf sebagai sumber hukum atas dasar pertimbangan kemaslahatan (kebutuhan orang banyak), dalam arti orang banyak akan mengalami kesulitan bila tidak mempergunakan urf sebagai sumber hukum dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial yang timbul dalam kehidupan masyarakat.
8. Yurisprudensi
Sampai saat ini belum ada yurisprudensi (putusan Pengadilan Agama) yang berhubungan dengan ekonomi syari‟ah. Yurisprudensi yang ada hanya putusan Pengadilan Niaga tentang ekonomi konvensional. Yurisprudensi ini dapat dipergunakan sebagai bahan perbandingan dalam pemeriksaan dan memutus perkara ekonomi syari‟ah.
Dalam kaitan ini ada beberapa yurisprudensi dari Pengadilan Sudan, Bangladesh, Bahrein dan Qatar yang dapat dijadikan acuan dan perbandingan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara ekonomi syari‟ah. Saat ini sedang di translet kedalam Bahasa Indonesia.
RESPONS MOYES SETELAH BAWA WEST HAM KALAHKAN CHELSEA
BalasHapus