Header Ads

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH ; SEBUAH KEWENANGAN BARU PERADILAN AGAMA

Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain dalam bidang ekonomi syari‟ah. Disamping itu, lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf juga telah memberikan nuansa baru pada lembaga Peradilan Agama, sebab pengaturan wakaf dengan undang-undang ini tidak hanya menyangkut tanah milik, tetapi juga mengatur tentang wakaf produktif yang juga menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk menyelesaikan berbagai sengketa dalam pelaksanaannya.

Berdasarkan pasal 49 huruf ( i ) Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ditegaskan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk “ekonomi syari‟ah”. Yang dimaksud dengan ekonomi syari‟ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari‟ah yang meliputi bank syari‟ah, lembaga keuangan mikro syari‟ah, asuransi syari‟ah, reasuransi syari‟ah, reksadana syari‟ah, obligasi syari‟ah dan surat berharga berjangka menengah syari‟ah, sekuritas syari‟ah, pembiayaan syari‟ah, pergadaian syari‟ah, dana pensiun lembaga keuangan syari‟ah dan bisnis syari‟ah.

-----------------------

* Disampaikan pada acara Diskusi Panel Dalam Rangka Dies Natalis Universitas YARSI ke 40 pada hari

Rabu, tanggal 7 Februari 2007 di Kampus YARSI Jakarta.

Ruang lingkup wakaf berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun

2004 tidak hanya dalam ruang lingkup benda tidak bergerak saja, tetapi meliputi benda wakaf bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud seperti uang, logam mulia, hak sewa, transportasi dan benda bergerak lainnya. Wakaf benda bergerak ini dapat dilakukan oleh wakif melalui lembaga keuangan syari‟ah yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku seperti Bank Syari‟ah. Kegiatan wakaf seperti ini termasuk dalam kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang penglolaannya berdasarkan prinsip syari‟ah.

Ekonomi syari‟ah dibahas dalam dua disiplin ilmu, yaitu ilmu ekonomi Islam dan ilmu hukum ekonomi Islam. Ekonomi syari‟ah yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama berhubungan dengan ilmu hukum ekonomi yang harus diketahui oleh para hakim di lingkungan lembaga Peradilan Agama. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan ekonomi syari‟ah belum ada aturan khusus yang mengatur tentang hukum formil (hukum acara) dan hukum materiel tentang ekonomi syari‟ah. Pengaturan hukum ekonomi syari‟ah yang ada selama ini adalah ketentuan yang termuat dalam kitab- kitab fiqih dan sebagian kecil terdapat dalam fatwa-fatwa Dewan Syari‟ah Nasional (DSN), dan dalam Peraturan Bank Indonesia. Melihat kepada kasus-kasus yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa kepada Badan Arbitrase Syari‟ah Nasional (BASYARNAS) sehubungan dengan sengketa antara Bank Syari‟ah dan nasabahnya, dalam penyelesaiannya BASYARNAS menggunakan dua hukum yang berbeda yaitu fatwa-fatwa Dewan Syari‟ah Nasional dan KUH Perdata. Hal ini dilakukan guna mengisi kekosongan hukum dalam menyelesaikan suatu perkara.

Sebelum lahirnya peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum formil dan hukum materiel tentang ekonomi syari‟ah, dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari‟ah sebaiknya hakim Pengadilan Agama menguasai hukum perjanjian yang terdapat dalam hukum perdata

umum (KUH Perdata), juga semua fatwa-fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Indonesia, dan Dewan Wakaf Nasional Indonesia. Saat ini Kelompok Kerja Perdata Agama (Pokja-Perdata Agama) Mahkamah Agung RI bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat (PPHIM) sedang menyusun semacam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari‟ah untuk menjadi pegangan aparat lembaga Peradilan Agama, tentu hal ini sambil menunggu peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan ekonomi syari‟ah diterbitkan.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.